Kampar - Di saat Pemerintah Kabupaten Kampar gencar menyerukan efisiensi anggaran, publik dikejutkan dengan pemandangan di jantung Kota Bangkinang: Taman Kota kembali dibongkar. Bukan sekali atau dua kali, taman ini seolah menjadi “proyek abadi” yang selalu diutak-atik dengan dalih pembangunan, namun tanpa kejelasan arah.

 

Sejak 2020, miliaran rupiah sudah digelontorkan untuk proyek yang sama. Tahun 2022 kembali dibangun, dan kini dirombak lagi. Pertanyaannya: sampai kapan publik harus menyaksikan uang rakyat habis di satu titik, sementara kebutuhan mendesak lain terbengkalai? Jalan rusak, drainase bermasalah, fasilitas kesehatan dan pendidikan yang belum merata, semua itu seharusnya lebih prioritas daripada mempercantik taman yang belum jelas manfaatnya.

 

Fenomena ini memperlihatkan dua hal. Pertama, lemahnya perencanaan pembangunan di Kampar. Jika perencanaan matang, seharusnya tidak perlu ada pembongkaran berulang yang menguras APBD. Kedua, adanya indikasi proyek ini lebih mementingkan “seremonial pembangunan” ketimbang substansi pelayanan publik.

 

Efisiensi yang dikumandangkan bupati menjadi sekadar jargon bila tidak konsisten dengan praktik di lapangan. Bagaimana mungkin pemerintah daerah berbicara soal penghematan, sementara taman kota yang sudah ada malah terus dibongkar dan dibangun ulang?

 

Masyarakat berhak bertanya: untuk siapa taman kota ini dibangun? Apakah benar demi kepentingan publik, atau sekadar proyek rutin yang menguntungkan segelintir pihak?

 

Taman Kota Bangkinang akhirnya menjadi simbol: bukan keindahan, melainkan potret kebijakan yang tidak berarah dan cenderung mubazir.